Jumat, 06 Maret 2009

Takut Ama Matematika??

Matematika sering kali dianggap pelajaran momok. Tak cuma si anak yang kebingungan, orang tua pun sering dibuat kalang kabut.
Segala daya dikerahkan para orang tua bagi anaknya. Mulai dari les sampai ikut bimbingan belajar. Tapi beberapa waktu terakhir ada lembaga yang khusus menyelenggarakan kursus matematika. Ada yang menggunakan Metode Kumon, sementara lainnya menggunakan alat bantu sempoa.
Kembangkan potensi individu
Sebenarnya nama Kumon adalah nama keluarga penemu metode belajar matematika, Toru Kumon. Guru matematika SMU di Jepang itu pada tahun 1954 pertama kali menyusun sendiri bahan pelajaran matematika untuk membimbing anaknya belajar matematika. Setelah terbukti memberi hasil memuaskan pada anaknya dan juga anak didik dan tetangga dekatnya, ia pun ingin menerapkan cara belajar dan bahan pelajaran ini kepada sebanyak mungkin anak. Tak heran dengan sifatnya yang universal, kini Metode Kumon telah dapat diterapkan di 40 negara, termasuk Indonesia.
Prinsip dasar metode yang disebarluaskan ke Indonesia pada Oktober 1993 ini adalah pengakuan tentang potensi dan kemampuan individual tiap siswa. “Maka, seseorang yang mendaftar kursus Kumon harus mengikuti tes penempatan,” tutur Suita Sary Halim, pimpinan penyelenggara kursus Kumon. Tes penempatan itu untuk mengetahui titik pangkal siswa, supaya siswa dapat mengerjakan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila soal itu biasanya bisa selesai dalam batas waktu tertentu, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Setelah itu, ia akan terus berlatih mengerjakan soal-soal latihan sesuai kemampuan, daya konsentrasi dan ketangkasan, bukan berdasar tingkat kelas formal atau usia siswa saja. Siswa SD kelas II bisa saja menghadapi soal latihan untuk SD kelas I, “Karena mungkin yang ia kuasai benar baru pelajaran di kelas I,” ujar Suita.
Sebagai contoh, mungkin saja ada siswa SD kelas II yang harus belajar penambahan yang termudah. Misalnya, 1 + 1 = 2, 2 + 1 = 3, 3 + 1 = 4, 4 + 1 = 5, 5 + 1 = 6, dst. Namun begitu jangan dianggap enteng karena ia harus menyelesaikan sebanyak 50 soal hitungan serupa hanya dalam waktu 2 menit. Latihan itu dilakukan berulang kali, sampai ia menguasai dan mampu di luar kepala menjawab soal serupa. Selanjutnya, ia akan meningkat ke bagian berikut, namun dengan tingkat perbedaan kesulitan yang sangat kecil, misalnya 1 + 2 = 3, 2 + 2 = 4, dan seterusnya.
Maka jangan kaget bila dalam kelas bisa ditemukan siswa dalam berbagai tingkat usia. Begitu pun, beberapa siswa yang duduk di tingkat kelas yang sama tidak berarti akan memulai mengerjakan soal latihan yang sama pula. “Kembali lagi karena masalah potensi dan kemampuan yang berbeda dari tiap siswa. Maka yang diterapkan adalah belajar perseorangan,” tutur Suita sambil menambahkan tiap siswa Kumon mendapat bahan pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya, baik jumlah lembar kerja maupun tingkat bahan pelajarannya.
Karena mulai belajar dari bagian yang tepat, dalam arti sesuai dengan kemampuannya, dan program dibuat secara perseorangan, siswa tidak akan menemui kesulitan belajar. Yang muncul justru perasaan senang belajar matematika. Penyebab yang lain karena di lembaga ini tidak tertutup kemungkinan untuk merevisi dan mengembangkan bahan pelajaran agar anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak kehilangan semangat belajarnya. Selain itu prestasi antara satu siswa dengan yang lain tidak dibanding-bandingkan, sehingga kalaupun ada yang agak lambat mencapai kemajuan tidak akan merasa kecil hati dan putus asa.
Uniknya, berkat metode yang mengunggulkan kemampuan dan semangat belajar perseorangan itu, biasanya setelah 6 bulan - 1 tahun, siswa sudah bisa mencapai tingkat pelajaran di sekolahnya, setelah itu melampauinya.Kemajuan dari hasil belajar siswa Kumon memang sangat bervariasi. Ada siswa yang menyelesaikan seluruh bahan pelajaran Metode Kumon, hingga level Q mengenai probabilitas dan statistika, dalam waktu 2 tahun 10 bulan. “Namun, sekecil apa pun kemajuannya, kami akan selalu mengakui setiap hasil yang telah mereka capai dan menunjukkan jalan agar pada diri setiap anak timbul rasa percaya diri dan keberanian,” ujar Suita sambil menambahkan pada umumnya prestasi siswa sesudah mengikuti kursus metode ini meningkat, terutama dari segi akademis.
Disiplin berlatihKumon menilai kunci keberhasilan belajar matematika adalah dengan banyak berlatih. Tak heran bila selama belajar dengan Metode Kumon siswa akan mendapat banyak porsi latihan. Dalam tiap satuan lembar kerja terdapat puluhan soal, sehingga untuk satu materi bahasan ia akan mengerjakan hingga ratusan soal latihan. Maka, untuk menyelesaikan seluruh topik bahasan, bila ia jadi siswa sejak tingkat pertama, jumlah soal latihan yang dikerjakannya tentu mencapai puluhan ribu!
Di Kumon, menurut Suita, siswa yang sudah punya kemampuan cukup yang bisa maju ke tingkat lebih tinggi. Bagi yang belum cukup akan terus mendapat pengulangan, sehingga nantinya ia tidak mendapat kesulitan saat mengerjakan bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Selain itu Kumon memberlakukan sistem nilai 100, artinya tiap latihan harus benar dikerjakan semua sebelum bisa berganti lembar pelajaran. Siswa yang melakukan kesalahan harus memperbaiki sendiri sampai mendapat nilai 100. Cara ini dinilai efektif agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kenaikan tingkat sering kali tidak terasa. Ini karena perubahan bahan pelajaran dibuat sedemikian kecil, bahkan halus dan sistematis. Bahan pelajaran meningkat seiring dengan kemampuan penalaran sendiri, jarang sekali ia harus minta bantuan pembimbing. Cara ini akan membentuk kebiasaan belajar mandiri yang berguna untuk menggali potensi diri-sendiri.
Selain materi pelajaran, waktu belajar siswa pun digodok matang. Siswa umumnya datang ke kelas 2 kali seminggu dengan waktu belajar rata-rata 30 menit, tergantung tingkat bahan pelajarannya. “Namun, di luar hari kelas, mereka mendapat PR dengan jumlah yang tepat sesuai kemampuannya setiap hari,” ujar Dani Wulansari, staf lembaga Metode Kumon.
Semua cara belajar itu diterapkan pada seluruh peserta kursus tanpa memandang usia, karena Kumon memang bisa diikuti oleh siswa pada usia berapa pun. “Pendaftarannya pun terbuka setiap saat,” ujar Dani sambil menambahkan sebaiknya siswa mempelajari metode ini sejak usia dini, karena hasilnya tentu akan lebih memuaskan. Yang terutama dirasakan adalah kemampuan berpikir matematis akibat latihan mengkoordinasikan angka-angka menggunakan otak dan tangan. Khususnya latihan hitungan dengan Metode Kumon akan terasa sangat membantu untuk mengenal matematika tingkat SMP dan SMA, sehingga ia akan dengan mudah mengerjakan soal-soal persamaan, pemfaktoran, juga diferensial dan integral.
Dengan demikian, Metode Kumon bukan hanya meningkatkan penguasaan matematika, tapi juga berbagai kemampuan belajar pada anak, mulai dari konsentrasi dan ketangkasan kerja, semangat kebiasaan belajar mandiri, kebiasaan belajar setiap hari. Bila ia bisa menyelesaikan soal latihan matematika dari sekolah dengan cepat, maka ia bisa menggunakan sisa waktu untuk mempelajari ilmu lain. Alhasil, pelajaran lain pun pasti akan meningkat.
Dari pasir sampai manik-manikKonon dengan sempoa seorang anak dapat menjawab sederetan soal hitungan penjumlahan dan pengurangan hanya dalam beberapa menit. Yang dilakukannya cuma menjentak-jentikkan biji manik-manik sempoanya dengan cekatan.
Sempoa memang bukan barang baru. Diduga alat hitung ala abakus pertama dimiliki suku Babilonia dalam bentuk sebilah papan yang ditaburi pasir. Di atasnya orang bisa menorehkan berbagai bentuk huruf atau simbol. Tak heran bila ia disebut abakus yang dalam bahasa Yunaninya abakos, artinya ‘menghapus debu’. Ketika berubah fungsi menjadi alat hitung, bentuknya pun diubah. Permukaan pasir itu menjadi papan yang ditandai garis-garis lengkap dengan sejumlah manik-manik satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya.
Alat itu makin disempurnakan di zaman Romawi. Papannya dibuat berlekak-lekuk cekung agar saat menghitung manik-manik mudah digerakkan dari atas ke bawah.
Orang Cina mengembangkan “hsuan-pan” (nampan penghitung) alias abakus itu menjadi dua bagian. Pada jeruji atas dimasukkan dua manik-manik dan jeruji bawah lima manik-manik. Di abad pertengahan abakus makin tersebar luas, di antaranya sampai ke Eropa, Arab, dan seluruh Asia.
Abakus sampai di Jepang pada abad ke-16. Namun Jepang mengubah susunan manik-manik menjadi satu pada jeruji atas dan empat di jeruji bawah. Satu manik-manik jeruji atas bernilai lima dan empat di jeruji bawah (dimulai dari tengah ke kiri) bernilai satuan, selanjutnya puluhan, ratusan, dan seterusnya. Sedangkan di bagian tengah ke kanan untuk menghitung bilangan desimal. Rupanya abakus ala Jepang ini yang belakangan populer kembali, termasuk di Indonesia.
Menanam sempoa di otakMunculnya mesin hitung elektronika di AS tahun 1946, rupanya tidak menggoyahkan kepopuleran sempoa. Malah anak yang sudah sangat fasih menghitung dengan metode sempoa telah dibuktikan mampu mengalahkan cara hitung dengan komputer.
Belakangan berbagai kursus mental aritmatika sempoa memang menjamur di kota-kota besar. Menurut salah satu penyelenggara kursus, yaitu Yayasan Aritmatika Indonesia (YAI) yang mengambil lisensi dari Malaysia, berhitung metode sempoa hanya melibatkan hitungan tambah, kurang, kali, dan bagi.
Satu paket belajar terdiri atas 10 tingkat yang kenaikannya harus melalui ujian. Pada tingkat I - III anak belajar penjumlahan dan pengurangan. Pada tingkat IV diajarkan perkalian dan pembagian. Bila satu tingkat selesai dalam tiga bulan, berarti untuk menamatkan 10 tingkat perlu waktu 30 bulan atau 2,5 tahun. Umumnya bila sudah sampai tingkat terampil, mungkin setelah belajar 6 bulan - 1 tahun, sekitar tingkat II atau III, murid diharapkan mampu menghitung tanpa alat bantu apa pun. Sepuluh baris pertanyaan perkalian tiga digit angka dengan tiga digit angka bisa selesai kurang dari 30 detik!
Hal ini bisa terjadi karena anak sudah hapal lokasi satuan, puluhan, ratusan, dst. Cukup dengan membayangkan posisi manik-manik sempoa sambil memainkan jari-jari tangannya, ia bisa menemukan hasil hitungan. Pada tingkat ini ia sudah mampu menghitung cepat di luar kepala. Visualisasi penggunaan sempoa sudah tertanam dalam otaknya.
Namun, ada catatan penting lain, menurut sistem YAI, pelatihan aritmatika sempoa paling sesuai untuk anak usia 6 - 12 tahun karena mereka sedang dalam taraf mempelajari metode dasar eksakta.
“Pikiran mereka masih jernih, belum terlalu dipengaruhi metode aritmatika lain,” tutur Ibu Tia, praktisi sistem YAI di Sanggar Kreativitas Bobo, Jakarta.
Akhirnya, selain bisa berhitung cepat, metode ini berguna untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak, khususnya otak kanan yang meliputi daya analisis, ingatan, logika, imajinasi, reaksi tinggi, dll. Menurut teori mental aritmatika, pemahaman atas disiplin dasar eksakta ini akan membuat anak mampu menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas dirinya, termasuk menyerap ilmu-ilmu lanjutannya nanti. Untuk kehidupan sehari-hari latihan ini akan melatih mental anak agar menjadi lebih tekun serta disiplin.
Ilmu kemampuan dasarKemampuan menghitung dengan cepat, tentu akan menunjang anak dalam pelajaran matematika di sekolah. Atas pertimbangan itu Kepala Sekolah SD Dharma Karya Drs. H. Masduki memasukkan metode ini dalam mata pelajaran di sekolah yang dipimpinnya. “Karena saya pernah melihat ada anak SMP yang menghitung masih dengan alat bantu jari-jari tangan.”
Selain itu, ia membaca di surat kabar rencana akan makin banyaknya diterapkan ilmu kemampuan dasar di tingkat pendidikan dasar. Menurut dia, “Salah satu ilmu kemampuan dasar adalah aritmatika yang meliputi penguasaan berhitung tambah, kurang, kali, bagi.” Bila landasan berhitungnya cukup kuat, siswa tentu tak akan menghadapi masalah dalam memahami matematika yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan GBPP.
SD Dharma Karya mengajarkan metode sempoa aritmatika sejak tahun ajaran baru silam dengan mengambil dua jam dari 10 jam pelajaran matematika. Metode ini diperkenalkan pada siswa kelas I hingga VI. “Repotnya, kalau diajarkan pada siswa di kelas V atau VI, mental berhitung mereka sudah terbentuk yaitu menghitung dengan alat bantu jari tangan, sedangkan jumlah jari tangan sangat terbatas. Tak heran, kalau sering kali matematika sulit dikuasai karena tidak ada bekal ilmu berhitung,” aku Wito, guru mata pelajaran metode sempoa.
Nantinya, murid kelas I sekarang saat duduk di kelas V akan mendapat pelajaran aritmatika sosial. “Siswa belajar menerapkannya dalam masalah sehari-hari, misalnya saat berbelanja,” tutur Wito yang mengaku sempat bekerja keras merakit sempoa sederhana untuk dipakai berlatih murid-muridnya.
Ternyata Wito punya target yang sama dengan YAI, yaitu memasukkan sempoa bayangan ke otak anak. Tugas pertamanya adalah bagaimana agar muridnya lancar mengoperasikan sempoa. Di otak setiap gerakan bisa punya makna dalam hitungan. Sehingga kalau pun tanpa sempoa siswa tak akan kesulitan dalam berhitung.
Menurut Wito, murid-muridnya tak pernah bosan belajar dengan sempoa. Murid-muridnya tak merasa sedang belajar, malah lebih merasa sedang bermain manik-manik sempoa.
Masduki tak mengingkari masalah yang mungkin muncul. Berbeda dengan kursus, di mana satu anak punya sempoa sendiri yang bisa dipakai berlatih di rumah, sempoa di sekolahnya hanya dipinjamkan pada siswa saat pelajaran. Belum lagi jumlah siswa satu kelas yang mencapai 35 orang, sehingga mungkin saja ada anak yang agak lambat menguasainya. “Namun, selalu ada jalan keluar, misalnya memberi pengajaran remedial atau pengayaan,” tutur Masduki yang, sama seperti guru dan orang tua mana pun, bertekad memberikan bekal terbaik untuk generasi penerusnya.

Survey Matematika

Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja.

Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi atau ukuran IQ).

Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya.

Hukum alam selalu menunjukkan bahwa di mana pun manusia di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka –yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi-dimensi lainnya –misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”. Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini.

Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi.

Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah dengan Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional -yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10 persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal.

Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang –terutama pendidikan dasar— dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.

Lain halnya dengan Indonesia, sistem pendidikan di negara justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.

Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia). Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya.

Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.

Apa yang telah ditanam pemerintah (pemegang dan pembuat kebijakan) selama ini, ternyata membuahkan hasil. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia ’terjun bebas’ berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Mengapa kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Jelas sebabnya adalah para pemimpin Indonesia, sejak merdeka hingga kini tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu dalam membawa bangsa ini melesat jauh ke depan.

Namun Jepang dan Jerman mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal. Yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi baru, perlupendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi.

Jerman dan Jepang terkenal dengan apprentice system (keterampilan) yang handal, sehingga produk-produk mereka terkenal paling bagus kualitasnya di dunia, karena dikerjakan oleh para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung.
Mereka adalah para pekerja manual, bukan saintis atau ilmuwan. Tentu saja Jerman dan Jepang juga memperhatikan perguruan tinggi untuk menampung 15 persen penduduk terpandai (yang daya abstraksi dan analitiknya tinggi). Namun demikian, tidak dengan cara memaksakan target perguruan tinggi –supaya menjadi ilmuwan - kepada 85 persen lainnya.

Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia sejak usia SD sudah habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya.

Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah.

Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan (SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan –bukan memiliki keterampilan kerja.

Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (lihat bab mengenai bahasan multiple intelligences - sembilan aspek kecerdasan).
Kalaupun ada, maka orientasinya pun lebih kepada kognitif (hafalan), tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan untuk belajar dan mendalami materi lebih lanjut. Celakanya, pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi.
Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya. Mata pelajaran yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan yang lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata.
Sistem pendidikan seperti ini membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, yang menurut David Orr adalah akar dari permasalahan yang ada: “Isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir secara keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar kotak-kotak tersebut, atau untuk mempertanyakan bagaimana suatu kotak (perspektif) dapat terkait dengan kotak-kotak lainnya” (Clark1997).
Hal yang sama diungkapkan oleh Fitjrof Capra, bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat gambar keseluruhan (wholeness) dari setiap fenomena.
Akibatnya banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan manusia didekati pula secara fragmented (parsial), sehingga tidak dapat memperbaiki masalah, tetapi justru semakin memperburuknya. Inti pemikiran Fitjrof Capra adalah menekankan pentingnya untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan : “multidisciplinary, holistic approach to reality.”
Apabila dalam dunia fisika paradigma telah bergeser dari pendekatan mekanistik dan terfragmentasi dalam menelaah partikel-partikel benda mati ke arah pendekatan menyeluruh, maka sudah seharusnya pendekatan yang sama diterapkan dalam bidang-bidang keilmuan lainnya, terutama yang menyangkut bagaimana mempelajari manusia dan semua unsur-unsur peradabannya.
Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan holistik, seperti yang dikatakan oleh J. Krishnamurti, adalah “The highest function of education is to bring about an integrated individual who is capable of dealing with life as a whole”.
Sizer (1999) mengatakan bahwa tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang bijak (thoughtful and decent human being).
Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti menurut Socrates: "Then the man who's going to be a fine and good guardian of the city for us will in nature be philosophic, spirited, swift, and strong" (Bloom, A.: 1991).

Kurikulum Holistik Berkarakter
Perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.
Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik).

Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.

Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang.
Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.

Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah mmbentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). Yaitu dengan 1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning); 2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat; 3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan erkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good; 4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia; 5. Seluruh pendekatan di atas menerapkanprinsip-prinsip.

Sejarah Ilmu Matematika

Ikhtisar dan sejarah matematika

Untuk lebih jelasnya lihat pada artikel sejarah matematika .

Kata "matematika" berasal dari kata μάθημα(máthema) dalam bahasa Yunani yang diartikan sebagai "sains, ilmu pengetahuan, atau belajar" juga μαθηματικός (mathematikós) yang diartikan sebagai "suka belajar".

Disiplin utama dalam matematika didasarkan pada kebutuhan perhitungan dalam perdagangan, pengukuran tanah dan memprediksi peristiwa dalam astronomi. Ketiga kebutuhan ini secara umum berkaitan dengan ketiga pembagian umum bidang matematika: studi tentang struktur, ruang dan perubahan.

Pelajaran tentang struktur dimulai dengan bilangan, pertama dan yang sangat umum adalah bilangan natural dan bilangan bulat dan operasi arimetikanya, yang semuanya itu dijabarkan dalam aljabar dasar. Sifat bilangan bulat yang lebih mendalam dipelajari dalam teori bilangan. Investigasi metode-metode untuk memecahkan persamaan matematika dipelajari dalam aljabar abstrak, yang antara lain, mempelajari tentang ring dan field, struktur yang menggeneralisasi sifat-sifat yang umumnya dimiliki bilangan. Konsep vektor, digeneralisasi menjadi vektor ruang dipelajari dalam aljabar linier, yang termasuk dalam dua cabang: struktur dan ruang.

Ilmu tentang ruang berawal dari geometri, yaitu geometri Euclid dan trigonometri dari ruang tiga dimensi (yang juga dapat diterapkan ke dimensi lainnya), kemudian belakangan juga digeneralisasi ke geometri Non-euclid yang memainkan peran sentral dalam teori relativitas umum. Beberapa permasalahan rumit tentang konstruksi kompas dan penggaris akhirnya diselesaikan dalam teori Galois. Bidang ilmu modern tentang geometri diferensial dan geometri aljabar menggeneralisasikan geometri ke beberapa arah:: geometri diferensial menekankan pada konsep fungsi, buntelan, derivatif, smoothness dan arah, sementara dalam geometri aljabar, objek-objek geometris digambarkan dalam bentuk sekumpulan persamaan polinomial. Teori grup mempelajari konsep simetri secara abstrak dan menyediakan kaitan antara studi ruang dan struktur. Topologi menghubungkan studi ruang dengan studi perubahan dengan berfokus pada konsep kontinuitas.

Mengerti dan mendeskripsikan perubahan pada kuantitas yang dapat dihitung adalah suatu yang biasa dalam ilmu pengetahuan alam, dan kalkulus dibangun sebagai alat untuk tujauan tersebut. Konsep utama yang digunakan untuk menjelaskan perubahan variabel adalah fungsi. Banyak permasalahan yang berujung secara alamiah kepada hubungan antara kuantitas dan laju perubahannya, dan metoda untuk memecahkan masalah ini adalah topik dari persamaan differensial. Untuk merepresentasikan kuantitas yang kontinu digunakanlah bilangan riil, dan studi mendetail dari sifat-sifatnya dan sifat fungsi nilai riil dikenal sebagai analisis riil. Untuk beberapa alasan, amat tepat untuk menyamaratakan bilangan kompleks yang dipelajari dalam analisis kompleks. Analisis fungsional memfokuskan perhatian pada (secara khas dimensi tak terbatas) ruang fungsi, meletakkan dasar untuk mekanika kuantum di antara banyak hal lainnya. Banyak fenomena di alam bisa dideskripsikan dengan sistem dinamis dan teori chaos menghadapi fakta yang banyak dari sistem-sistem itu belum memperlihatkan jalan ketentuan yang tak dapat diperkirakan.

Agar menjelaskan dan menyelidiki dasar matematika, bidang teori pasti, logika matematika dan teori model dikembangkan.

Saat pertama kali komputer disusun, beberapa konsep teori yang penting dibentuk oleh matematikawan, menimbulkan bidang teori komputabilitas, teori kompleksitas komputasional, teori informasi dan teori informasi algoritma. Kini banyak pertanyaan-pertanyaan itu diselidiki dalam ilmu komputer teoritis. Matematika diskret ialah nama umum untuk bidang-bidang penggunaan matematika dalam ilmu komputer.

Bidang-bidang penting dalam matematika terapan ialah statistik, yang menggunakan teori probabilitas sebagai alat dan memberikan deskripsi itu, analisis dan perkiraan fenomena dan digunakan dalam seluruh ilmu. Analisis bilangan menyelidiki teori yang secara tepat guna memecahkan bermacam masalah matematika secara bilangan pada komputer dan mengambil kekeliruan menyeluruh ke dalam laporan.setau saya 1 ditambah 1 sama dengan 10

(untuk lebih lengkap baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Matemat...rah_matematika)